-Sebuah Catatan yang Terserak-
Pagi itu saya baru selesai lari menembus 5 Km, kebiasaan baru saya sejak tergabung dalam komunitas Runner Tanjungpinang, untuk melepas lelah dan ngopi pagi saya pilih kedai kopi legendaris yang menyajikan menu mie lendir, kedai kopi yang berada di jalan paling sibuk di Tanjungpinang, Jalan Bintan, dimana pesona Pecinan masih melekat kuat baik dari ornamen bangunan sekitarnya maupun tradisi dan kulinernya.
Oh ya, saya cerita sedikit kenapa saya sangat familiar dengan nuansa dan suasana oriental atau pecinan, karena dalam diri saya mengalir darah tionghwa, ibu dari papa saya, tepatnya nenek saya adalah seorang Tionghwa yang sudah diangkat anak sejak kecil oleh seorang pedagang Bugis, maka jadi lah sedikit perawakan Tionghwa melekat pada diri saya dan tak jarang ketika berbelanja dengan pedagang Tionghwa mereka sering mengira saya orang Tionghwa dan sudah bisa ditebak saya selalu di untungkan dengan wajah oriental ini, setidaknya dapat harga lebih murah atau dapat barang yang terjamin kualitasnya karena sudah jadi rahasia umum, sesama orang tionghwa mereka saling percaya dan saling mendukung.
Tengah asyik menyeruput kopi o khas Tanjungpinang, pendengaran saya tergelitik dengan obrolan meja sebelah, entah kenapa buat saya obrolan mereka mengundang rasa penasaran dalam jumlah besar, karena yang dibicarakan juga orang besar dan temanya juga besar, Bobby Jayanto, siapa orang Tanjungpinang bahkan Kepulauan Riau yang tak kenal sosok yang satu ini, The Tiger from Archipelago adalah julukan nya, Bobby yang di awal tahun 90an dikenal sangat “ditakuti” karena dulu menguasai jaringan bisnis hiburan dan perjudian di Tanjungpinang. Pria Tionghwa berbasis pengusaha yang akhirnya terjun ke dunia politik dan sempat menjadi Ketua DPRD Kota Tanjungpinang periode 2004-2009 itu kenyang makan asam garam kehidupan.
Lantas persoalan apa yang kini melilitnya sehingga menjadi obrolan trending topic di kedai kopi, Bobby diduga tersandung kasus SARA, akibat sambutannya pada acara Keselamatan Laut di Pelantar 2, Ahad (8/6/2019) yang lalu.
Bobby disebut kawan meja sebelah sudah kelewatan karena mengucapkan kata-kata mengandung unsur rasis, saat pidato sebagai salah satu tokoh Tionghwa Tanjungpinang, Bobby menggunakan bahasa tionghwa dan dalam pidatonya ada menyebutkan istilah si kulit hitam, “Dah melampau lah Bobby tu,” cakap orang sebelah.
Saya sebenarnya ingin gabung dalam pembicaraan itu, bukan apa-apa, saya merasa apa yang disampaikan Bobby di forum itu yang notabene adalah untuk kalangan sendiri, sangat tak pantas diviralkan keluar, akibatnya ya seperti sekarang ini, pidato sang Harimau menggigit dirinya sendiri, Bobby Jayanto adalah pemenang Pileg 2019 yang akan melenggang ke kursi DPRD Provinsi Kepri Daerah Pemilihan Kota Tanjungpinang dari Partai NasDem. Jadi sangat disayangkan ucapannya yang menyeretnya ke ranah pidana dan berpotensi menyebabkan ia terjegal ke kursi parlemen. Dengan sendirinya juga mematahkan asumsi bahwa settingan datang dari lawan politiknya. Yang mungkin adalah ada pihak yang diuntungkan dari kasus ini, walau hal itu juga masih bersifat spekulasi.
Di saat isi kepala saya masih mencoba menganalisa persoalan Bobby, sebuah bunyi gebrakan telapak tangan ke meja memaksa saya melihat sumber bunyi itu, rupanya kawan sebelah tu yang kalau mendengar dialek nya adalah orang melayu asli yang tak terima disebut kulit hitam oleh Bobby, “Ini dah soal marwah wai, kite memang kulit itam tapi tak patot lah Bobby cakap macam tu”, itu sepenggal kalimat nya yang saya rekam dalam memori otak saya. Sebenarnya ungkapan kawan sebelah meja tu bagi saya sebuah otokritik, kalau dah tau perangai Bobby seperti itu, lalu kenapa masih ada juga orang melayu yang pilih dia, tercatat Bobby meraih 6000-an suara pada Pileg April 2019.
Sebagai budak Tanjungpinang berdarah Tionghwa, ucapan Bobby buat saya memang tak patut, bukan hanya karena ia menyinggung soal rasis tapi omongan Bobby itu seperti api dalam sekam, terlihat dari luar biasa-biasa saja ternyata di dalam nya tersimpan bara api yang panas, dan tak tau kenapa persoalan perbedaan di bawa-bawa ke atas panggung acara keagamaan, disaat kita sedang berjibaku merawat kebhinekaan, menjaga toleransi dan menolak paham radikal. Untuk menjaga suasana Tanjungpinang tetap kondusif. Polisi harus segera menuntaskan kasus ini, dan untuk itu kepercayaan saya tetap 100% ke Polres Tanjungpinang.
Sebenarnya siapa yang dimaksud Bobby dengan istilah si kulit hitam itu, orang melayu kah, orang flores kah, orang bugis kah, atau suku lain selain tionghwa. Dalam imajinasi saya kalau konteks nya ia bicara tentang Pileg berarti yang dimaksud si kulit hitam di sini adalah salah satu Caleg yang ikut berkompetisi di Dapil yang sama, mungkin Bobby merasa kecewa karena warga Tionghwa ada yang memilih Caleg bukan Tionghwa. Kalau pun itu persoalannya, kenapa emosi Bobby sampai terbawa ke atas panggung, si kulit hitam, siapa kah dia?
Pertanyaan yang masih menggantung tadi, saya tinggalkan di meja kedai kopi bersama piring kotor bekas mi lendir dan gelas kosong bekas teh obeng, biarlah kawan meja sebelah itu terus berdebat soal isu-isu terkini di Tanjungpinang, saya tetap berlari, melalui lorong-lorong kota tua, menapaki jalan sempit Ibukota Provinsi Kepri yang punya slogan Jujur Bertutur, Bijak Bertindak, untaian kalimat penuh makna, dan mungkin seorang Bobby Jayanto tak sempat merenungkannya. Ntahlah..
Penulis adalah
Buana F Februari
Ketua Ikatan Pemuda Potong Lembu
Comment