Penulis : Dwiky Azhar Setiadi
Mahasiswa Stisipol Tanjungpinang
Di tahun 2018 menjadi tonggak penting bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), karena berkontribusi langsung untuk memastikan proses pemilihan umum kita memeiliki aspek integritas yang tinggi.
Namun untuk pemilihan ditahun 2019 UU Pemilu No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota Pasal 4 ayat 3 ditolak oleh Mahkamah Agung. Sehingga ditahun pesta demokrasi tersebut, UU No. 7 Tahun 2017 masih diterapkan. Mahkamah Agung beralasan bahwa pelarangan eks napi koruptor bertentangan dengan konstitusi kita yakni UUD Tahun 1945 lebih tepatnya di Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Lalu, Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Tak hanya itu, MA juga beralasan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) didalam undang-undang tersebut juga telah mengatur hak untuk memilih dan dipilih. Pasal 43 Ayat (1) UU HAM pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu. Bunyinya sebagai berikut: Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, Pasal 73 UU HAM mengatur soal pembatasan dan larangan hak serta kebebasan setiap warga. Bunyinya yakni: Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Dari pernyataan MA tentang penolakan tersebut bahwa dapat disimpulkan untuk Pemilu selanjutnya masih berlaku UU Pemilu No. 7 Tahun 2017.
Dari sekian banyaknya alasan Mahkamah Agung membatalkan UU KPU No. 20 Tahun 2018 Pasal 4 Ayat 3, sebenarnya KPU masih memiliki peluang untuk menerapkan hal tersebut tapi sedikit memodifikasi sedikit, yaitu menggunakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 didalam isinya yang berbunyi : Seorang mantan narapidana harus menunggu jeda waktu lima tahun setelah melewati masa pidana penjara dan mengumumkan mengenai latar belakang dirinya jika ingin mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati atau walikota.
Oleh karenanya, KPU berhak mengeluarkan peraturan baru untuk menyelesaikan polemik ini dengan rujukan dari putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019. Walaupun nantinya jikalau UU KPU pastinya akan ditentang oleh orang yang berkepentingan dan melakukan yudisial review ke MA, biarkan itu menjadi tugas MA.
Di tahun 2019 sebanyak 81 eks napi koruptor menjadi calon legislatif, dan 10 persen dari 81 eks napi koruptor yang mencalonkan diri terpilih menjadi anggota legislatif. Ini terbukti bahwa minimnya informasi terhadap masyarakat terkait calon legislatif yang pernah menjadi koruptor.
Seharusnya, KPU memampang jelas eks napi koruptor yang ingin menjadi calon legislatif lengkap dengan perkaranya, kerugian negaranya berapa, jabatannya apa, suapnya berapa entah itu dibuat di website resmi KPU, atau dibuat di setiap TPS masing-masing dapil.
Jika itu semua dilakukan oleh KPU maka masyarakat teredukasi dengan sempurna. Jikalau eks napi koruptor dibuatkan iklan dengan kata koruptor didalam setiap pemberitahuannya, maka harus jelas peraturan KPU untuk menetapkan ukuran font nya, dan apabila pemberitahuannya dibuatkan secara daring dan harus dipastikan setiap daerah harus emiliki akses internet.
Banyak masyarakat yang kontra terkait putusan Mahkamah Agung tentang eks napi koruptor menjadi caleg. Hal ini membuat KPU tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menjalankan peraturan yang berlaku. Oleh karenanya putusan Mahkamah Agung ini bersifat final dan mengikat. Entah mengapa banyak parpol ditahun 2019 mengusung kadernya menjadi caleg, padahal dulunya merupakan mantan eks napi koruptor. Menurut saya ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama yaitu terkait finansial dan kemungkinan kedua terkait relasi.
Tentu saja setiap parpol ingin meraih elektabilitas yang tinggi, makanya untuk merebut elektabilitas tersebut diperlukan dua faktor tersebut untuk dapat meraihnya. Didalam dunia politik pasti dibutuhkan yang namanya uang. Kader yang memiliki finansial yang lebih pasti diperlukan parpol untuk dijadikan sebagai kadernya, terlebih lagi jikalau kader tersebut memiliki relasi yang besar, sehingga tak ayal jika masih ada parpol yang mengusung kadernya menjadi caleg walaupun kadernya tersebut merupakan mantan eks napi koruptor.
Terpilihnya anggota legislatif yang merupakan mantan napi koruptor bisa saja bukan karena kurang masifnya KPU memberikan pemberitahuan kepada masyarakat bahwa ada caleg yang merupakan mantan napi koruptor, tetapi mungkin saja karena adanya politik uang didalam pemilu. Mengapa saya bilang demikian? Uang memiliki peran yang dominan dalam setiap aspek berpolitik. Masih banyak masyarakat yang kurang teredukasi terkait politik uang, walaupun ada sebagian masyarakat yang sudah paham dengan politik uang, tetapi masih saja hal tersebut dapat kita jumpai.
Kita ambil contoh saja di kota-kota besar, mungkin di kota-kota besar permainan politik uang tidak segampang yang kita pikirkan, karena rata-rata masyarakat perkotaan sudah paham akibat jika hal tersebut dilakukan. Maka tidak sedikit masyarakat yang melaporkan hal tersebut ke Bawaslu. Lalu bagaimana dengan masyarakat didaerah? Saya tidak merendahkan masyarakat didaerah, tetapi menurut pengalaman pribadi, masyarakat didaerah sangat senang jika ada salah satu caleg memberikan mereka uang dengan satu syarat mereka harus mencoblos caleg tersebut, ya walaupun tidak sedikit pula yang menolak uang tersebut. Ini membuktikan bahwa penanaman moral etik kepada setiap masyarakat perlu dilakukan oleh KPU, karena menurut saya masyarakat Indonesia hampir sebagian sudah permisif dengan hal yang berbau korupsi, hingga tak ayal politik uang bisa dilakukan dengan mudah tanpa diketahui oleh Bawaslu.
Dari diperbolehkannya mantan napi koruptor menjadi caleg, dapat kita bandingkan dengan masayarakat sipil yang ingin mencari kerja, yang mana salah satu persyaratannya melampirkan SKCK.
Padahal, jika kita ingin menyamai hak setiap warga negara maka tidak ada pembanding antara caleg dengan masyarakaat sipil. Pemerintah harusnya juga ikut berperan dalam hal ini, karena kami sebagai masyarakat sipil juga ingin mendapatkan hak yang sama dengan caleg. Saya tidak menyalahi konstitusi tapi saya ingin mengkritisi putusan MA bahwa apa yang menjadi putusannya memang sudah sesuai dengan kontstitusi tapi bertentangan dengan moral.
Masih banyak ratusan juta masyarakat yang masih bersih dari korupsi, dan masih banyak pula generasi muda kita yang memiliki kompetensi untuk mengelola negeri ini. Kenapa harus mantan napi korupsi yang ibarat kata seperti telur busuk masih dijadikan sajian? Apakah putusan Mahkamah Agung ini ada kaitannya dengan kepentingan pribadi atau memang benar berdasarkan konstitusi? Terlebih baru-baru ini seorang hakim agung ditangkap oleh KPK terkait tindak pidana korupsi hal ini memberikan pesan tersyirat kepada masayarakat bahwa sulit mencari aparat penegak hukum yang bersih. Apalagi semua putusan yang melibatkan Mahkamah Agung merupakan putusan final dan bersifat terikat, maka timbul keraguan akan setiap putusan yang diketok oleh hakim agung.
Menurut saya kebijaksanaan hakim dalam setiap putusan, merupakan tonggak penting dalam kehidupan bernegara. Undang-undang yang jelas juga merupakan sarana kita untuk mendapatkan produk kepastian hukum yang setara. Saya sangat menentang untuk eks napi koruptor mancalonkan menjadi calon legislatif. Masih banyak diluar sana yang berhak mendapatkan kesempatan untuk menjadi calon legislatif. Rampai kapanpun saya tidak rela dan ridho jika kursi anggota dewan yang terhormat diduduki oleh orang yang pernah berkhianat kepada rakyat dengan apapun alasannya.***
Comment